Oleh Husaini Ahmad (Awardee Beasiswa NTB)
Apa yang kira–kira terbersit dalam pikiran kita, ketika mendengar kata “pulang” ?. Bagi banyak orang, pulang adalah sebuah kata yang membawa bayangan akhir dari perjalanan panjang—sebuah penutup dari kisah pencarian, begitu kira-kira isi pikiran kita secara umum dan lazim. Tapi bagi Zulkieflimansyah, pulang adalah sebuah awal baru, bukan sekadar titik yang menghentikan laju, melainkan loncatan yang membuka cakrawala yang lebih luas. Di tengah hiruk-pikuk ambisi anak-anak muda yang bergegas meninggalkan kampung halaman demi dunia yang lebih menjanjikan, Bang Zul memilih jalan yang berbeda. Ia pulang. Dan pulang baginya bukan semata-mata langkah kembali, tapi sebuah hadiah—bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk NTB, tanah kelahirannya.
Di tahun 2013, ketika banyak orang Indonesia masih berkutat dengan perbincangan tentang pembangunan fisik yang megah atau pencapaian politik yang gemerlap, Bang Zul membawa gagasan yang terasa aneh dan tak lazim di ujung Timur Indonesia. Ia berbicara tentang teknologi, tentang ilmu pengetahuan, tentang masa depan. Dan yang paling mengagumkan, ia tidak hanya berbicara. Ia bertindak.
Dengan segala ide juga keberaniannya berdirilah Universitas Teknologi Sumbawa, sebuah institusi yang di mata orang-orang luar tampak seperti mimpi utopis yang jauh dari kenyataan. Di sebuah pulau yang kerap luput dari perhatian, berdirilah bangunan itu—tak sekadar gedung, tapi lambang dari harapan yang jauh lebih besar. Bang Zul membawa pulang bukan hanya dirinya sendiri tapi ia membawa serta ide-ide besar, pengalaman dari kampus-kampus terbaik dunia, dan jaringan global yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. NTB dan Sumbawa tidak lagi sekadar tempat singgah, tapi panggung bagi perubahan. “ Where is The Will, The is the way” ucapnya pada setiap pertemuan, kalimat sederhana tersebut adalah bukti keyakinan juga pandangan hebatnya yang melampui waktu.
UTS mendunia–sebuah langkah awal. Di bawah Universitas Teknologi Sumbawa, Bang Zul merajut mimpi yang tak sekadar lokal. Dunia berubah cepat—terlalu cepat—dan NTB juga Sumbawa tak boleh ketinggalan. Dalam pandangan Bang Zul, teknologi bukanlah barang mewah yang hanya bisa dinikmati kota-kota besar di Jawa. Ia adalah sesuatu yang bisa, dan harus, dibawa ke Sumbawa, ke NTB, ke Indonesia Timur.
UTS tidak dibangun dengan ambisi kecil. Dari awal, ia dibentuk dengan visi global yang kokoh. Di sinilah gagasan untuk menjalin kerja sama dengan berbagai universitas dan lembaga internasional mulai terwujud. Bagi mahasiswa UTS, dunia bukan lagi sekadar peta dalam buku geografi, tetapi sebuah panggung nyata yang bisa mereka jejaki. Pertukaran pelajar, magang di luar negeri, hingga riset bersama dengan universitas internasional adalah jembatan yang dibangun Bang Zul untuk menghubungkan NTB dengan dunia.
Tetapi Bang Zul tidak hanya bicara soal globalisasi. Ia juga bicara tentang substansi. Tentang bagaimana teknologi bisa diterapkan untuk menjawab masalah-masalah lokal. Di tengah derasnya arus modernisasi, NTB tak boleh kehilangan akar. Maka UTS, di bawah arahan Bang Zul, menciptakan program-program yang tak hanya relevan dengan Revolusi Industri 4.0, tetapi juga menjawab kebutuhan lokal: teknologi pertanian modern, energi terbarukan, hingga startup berbasis teknologi.
Namun program-program ini tidak dijalankan dalam ruang hampa. Bang Zul dengan cerdas mengundang para akademisi, praktisi, dan inovator dari berbagai belahan dunia untuk hadir di Sumbawa. Mahasiswa-mahasiswa UTS berkesempatan mendengar langsung pemikiran-pemikiran segar dari para pakar global. Di sini, Sumbawa tidak lagi menjadi pinggiran, tetapi menjadi simpul dari jaringan internasional yang luas. Dan di sinilah, Bang Zul, dengan segala kesederhanaannya, merajut mimpi besar tentang masa depan yang bisa dicapai oleh anak-anak muda dari Indonesia Timur.
Kita mungkin tak pernah menyangka, bahwa sebuah kampus di Sumbawa bisa menjadi penanda dari kehadiran harapan di masa depan. Di tengah gempuran teknologi dan ketidakpastian global, Bang Zul memilih untuk menanam benih ilmu pengetahuan dan inovasi di tanahnya sendiri. Pulang, bagi Bang Zul, adalah sebuah hadiah—dan hadiah itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk kita semua. (*)